Selasa, 07 Desember 2010

Menyelam di Cakar Macan, Taman Nasional Taka Bonerate


Potensi laut yang masih tertidur. Transportasi menjadi kendala pengembangannya. Meski dilingkupi alam yang ganas, tak luput dari pencurian. Kaki Reflina Imania Juwita berayun-ayun mengikuti irama dangdut sekadarnya. Malam itu menjadi penutup kunjungan di Taman Nasional Taka Bonerate, Selayar, Sulawesi Selatan. Reflina bersama enam kawannya dari Forum Penyelam Mahasiswa Indonesia (FPMI) bergabung dalam ekspedisi Taka Bonerate dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu.

Mereka menumpang KRI Surabaya menuju perairan Makassar. Untuk sampai Taka Bonerate, Reflina dan kawan-kawan menempuh 16 jam perjalanan lagi dari Makassar. Wilayah konservasi itu merupakan habitat terumbu karang atol terbaik di Indonesia. Ketiga terbesar di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Atol adalah terumbu karang berbentuk cincin. Disebut juga terumbu karang cakar macan.

Reflina sangat senang bisa menyelam di atol yang membentang 530.765 hektare itu. Dia mengambarkan atol itu seperti tebing curam yang siap dijelajahi petualang. Di banyak tempat, mungkin karang dan biota lautnya hampir sama. Tetapi di sini berbeda.

Selain bentang karang, kejernihan airnya sangat memikat. "Seperti nggak pakai kacamata renang. Kayak nggak ada penghalangnya," kata mahasiswa Jurusan Perkapalan, Universitas Diponegoro, Semarang, itu. Pendidikan formal Reflina mengharuskan dia menjadikan laut sebagai rumah kedua.

Di geladak kapal, orang-orang ramai berjoget. Reflina dari kursi belakang sesekali bertepuk tangan. Wajahnya menghitam terbakar matahari. Maklum, dua hari dia menyelam di dua titik kawasan Pulau Rajuni dan Latondu. Dia menyelam hingga kedalaman 25 meter. Satu hingga tiga jam di dalam air, muncul, lalu menyelam kembali. Penyelaman baru usai senja hari.

Dia merasa tak cukup hanya menyelam dua hari. Sebab baru dua pulau yang disambangi. Padahal, totalnya ada 21 pulau dan 19 lokasi penyelaman yang di taman nasional itu.

Karakter pulau di Taman Nasional Taka Bonerate begitu landai dan berada 2 hingga 4 meter di atas permukaan air. Panjangnya 200 hingga 2.000 meter, dengan lebar 100 hingga 1.000 meter. Taman nasional ini juga memiki pasir putih yang halus. Bila menginjakkan kaki tanpa alas, akan terasa mengental seperti tepung.

Ketika musim angin timur, muncul puluhan hamparan pasir putih tanpa pohon yang disebut bungin atau gusung. Biasanya bungin digunakan nelayan untuk membangun rumah singgah guna mempercepat gerak mereka di laut. Rumah itu bertahan hingga dua bulan dan kembali tersapu gelombang bersama bungin ketika angin barat bertiup.

Selain karang dan pasir, pada musim angin timur, Juli hingga Desember, beberapa pulau kecil begitu riuh. Ratusan burung laut hiruk-pikuk dengan lengkingan khas, berseliweran dan menukik menangkap ikan. "Itu perjalanan migrasi yang menyenangkan," kata Nur Aisyah Amnur, ahli pengendalian ekosistem hutan taman nasional itu.

Burung-burung itu berasal dari pulau sekitar, seperti Flores, Ambon, serta dari Australia. Mereka terbang dengan gerombolan yang banyak. Bila berkumpul, seperti kampung burung. Biasanya burung-burung tadi tersebar di beberapa pulau yang punya garis pantai panjang.

Pada 1929, dalam buku Sebaran dan Perkembangan Terumbu Karang di Indonesia Timur, Molengraff menulis Taka Bonerate sebagai Tiger Island atau Atol Harimau. Masyarakat mempercayai nama itu bukan sembarang nama. Mereka mengibaratkan Taka Bonerate sebagai mulut macan. Salah sedikit memasuki perairan itu, boleh jadi tak bisa keluar. Ini barangkali terjadi lantaran keganasan alam dan kesulitan menjangkau taman laut tersebut.

Nyali besar memang dibutuhkan untuk mengarungi Taka Bonerate. Nur Aisyah mengatakan, kadang-kadang jolloro (perahu bercadik khas Sulawesi Selatan) terombang-ambing dipermainkan ombak. Tinggi gelombangnya mencapai 5 meter hingga 7 meter. Keadaan alam seperti itu menguntungkan karena orang-orang akan sulit menjamahnya.

Meskipun sulit terjangkau, bukan berarti taman nasional itu luput dari usaha pencurian. Pada tahun lalu, tercatat ada 11 pelanggaran. Mulai pencurian ikan yang dilindungi, pengambilan karang, pembiusan, hingga pengeboman. Menurut Nur Asiyah, pelanggaran di dalam kawasan itu mudah terjadi karena petugas keamanannya sangat terbatas. Polisi yang menjadi penjaga ada 22 orang, tapi yang aktif hanya delapan. Sisanya diperbantukan di Makassar.

Salah satu jenis karang yang sering dicuri dan diminati masyarakat adalah bambu laut. Warnanya kuning. Bila dipegang, begitu lembut dan mudah hancur. Pada umumnya, bambu laut tumbuh di kedalaman 3-10 meter. Kata Nur Aisyah, karang itu diambil masyarakat karena dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit dan dijadikan sebagai obat kuat.

Lalu pencurian ikan dilakukan dengan pembiusan. Padahal, cara ini merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu ekosistem kawasan, bisa membunuh ikan, plankton, hingga karang.

Pada saat ini saja, beberapa karang di sana mengalami pemutihan. Jika sudah memutih, karang itu akan hancur, berubah menjadi pasir. Jumlahnya memang belum banyak dibandingkan dengan karang yang masih hidup. "Mengenai luasan karang mati itu, kami belum bisa memastikan. Tapi dua tahun terakhir ini, pemutihan karang memang banyak," katanya.

Dia belum bisa merinci penyebab utama pemutihan karang itu. Apakah karena pembiusan, pengeboman, atau perubahan suhu air laut. Yang jelas, terganggunya lingkungan sekitar akan membuat karang mudah stres.

Karang bukanlah tumbuhan laut, melainkan hewan laut. Hewan yang membentuk karang adalah polip. Polip ini berada di tengah karang dan mengumpulkan zat kapur. Cara kerjanya sederhana. Pada kondisi lingkungan yang nyaman, polip akan tumbuh sehat. "Seperti simbiosis muatualisme, saling menguntungkan," ujarnya. Zat kapur yang dikumpulkan akan menjadi rumah yang aman bagi polip.

Merangsang pertumbuhan terumbu karang tidaklah mudah. Butuh waktu minimal 10 tahun. Itu pun dengan syarat: keadaan lingkungan baik, suhu dan kecepatan arusnya stabil, serta harus terlepas dari penangkapan ikan berlebih.
Semua kondisi itu menjadikan potensi bahari dan pusat pendidikan terus tertidur. Hingga kini, rencana pemerintah daerah menjadikan Taka Bonerate sebagai tempat wisata bahari seperti Bunaken dan Wakatobi masih sebatas rencana. Data statistik taman nasional mencatat, jumlah penduduknya 6.267 jiwa pada 2009, tersebar di pulau-pulau yang tak satu pun memiliki sumber air tawar.

Secara geografis, Taka Bonerate berada di Laut Flores. Dari Flores, hanya dibutuhkan dua jam perjalanan. Tapi, jika ditempuh dari Makassar dengan rute normal, perjalanannya bisa makan waktu hingga 18 jam. Enam jam perjalanan dari Makassar ke Pelabuhan Bira di Bulukumba. Berlanjut dengan feri ke Selayar selama enam jam juga. Dari Selayar menuju Taka Bonerate makan waktu yang sama.

Bila menggunakan kapal milik balai taman nasional setempat, pengunjung dikenai biaya Rp 500.000. Kemudian membayar sendiri dua anak buah kapal dan menanggung persediaan bahan bakar minimal pergi-pulang 500 liter. Angkutan yang khusus menuju Taka Bonerate memang belum ada. Sedangkan feri Selayar-Taka Bonerate cuma ada tiga kali sepekan.

Arloji menunjukkan pukul 22.00 waktu setempat ketika KRI Surabaya mengarungi lautan, meninggalkan kawasan Taka Bonerate. "Ini pengalaman pertama. Saya berharap bisa kembali ke Taka Bonerate dan mengunjungi spot penyelaman lainnya," kata Reflina. (tulisan Eko Rusdiyanto, dimuat pada rubrik Perjalanan, Majalah Gatra Nomor 1, November 2010)