Selasa, 20 September 2011

KOTA INI MILIK SIAPA ....?


Kota ini Milik Siapa?

Perda pun disahkan
Wadah sumber penghasilan kami pun dibabat
Diprioritaskan kepada kelompok strata atas
Yang katanya menyukai kebersihan dan keindahan
Membangun restoran atau hotel berbintang
Ah... milik siapa sebenarnya kota ini?

Kayuh kami akhirnya dihentikan
Dicerca orang berdasi dibelakang kemudi
Atau mereka yang duduk di samping sopir pribadi
Mereka kesal lajunya dihadang
Padahal kami hanya mencari beras segenggam
Ah... milik siapa sebenarnya kota ini?

Terpaksa kendaraan umum kami berhenti
Peluh pun jatuh bercucuran
Pejabat diberi jalan bebas hambatan
Duduk di atas mobil mewah dengan pendingin ruangan
Tak merasakan panas
Tak merasakan apa yang kami rasakan
Ah... milik siapa sebenarnya kota ini?


Ruang terbuka digadai
Situs sejarah ikut digadai
Berganti jadi milik pribadi
Dan penghasilan pun untuk pribadi
Ah... milik siapa sebenarnya kota ini?

Jumat, 10 Juni 2011

: BUDAYA , KEBUDAYAAN , SUKU BUGIS


Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.

Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

ABOUT UJUNG PANDANG , PENINGGALAN SEJARAH , SEJARAH MAKASSAR



Menyambut usia ke-405 tahun (09 Nopember 2011), Kota Makassar masih terbilang muda jika dibandingkan sejarah nama Makassar yang jauh menembus masa lampau. Tapi tahukah Anda muasal dan nilai luhur makna nama Makassar itu?

Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.

Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.

Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.

Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak". Morfem ikat "mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).
Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".

Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.

Rabu, 01 Juni 2011

APAKAH MAKNA SESUNGGUHNYA


Salam dari Makassar !

(.......... mumpung masih tanggal 1 Juni ..........)
Presiden ke-5 Ibu Megawati Sukarnoputri mengatakan dalam
pidato-nya tadi siang bahwa Pancasila adalah "perekat
bangsa" ............. maksudnya tentu Pancasila diharapkan
bisa berfungsi sebagai "lem" yang menempelkan satu komponen
bangsa dengan komponen bangsa laen. Ini tentu salah satu
dari sekian banyak impian Bung Karno, yaitu bapaknya
Ibu Mega. Saya pernah membaca bahwa Bung Karno punya
banyak sebutan (misalnya "Pemimpin Besar Revolusi"),
dan salah satu sebutan beliau adalah "Sang Pemimpi Agung".
"Pemimpi", ndak pake' huruf "n". Tentu Bung Karno disebut
demikian, karena banyak mimpi-mimpi-nya tentang bangsa
dan negara yang digagasnya. Mimpi-mimpi-nya memang semua
indah-indah dan mulia, ........ tapi beberapa di antaranya
malah menjelma menjadi "nightmares" (= mimpi buruk) bagi
bangsa ini. Salah satu mimpi beliau yang kemudian menjadi
suatu "nightmare"........ adalah Pancasila. Alih-alih
menjadi "perekat", Pancasila malah pada kenyataannya jadi
"peretak" dalam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa
dan bernegara selama 66 tahun ini ....

Potensi Pancasila sebagai "peretak" sudah disadari Bung
Karno ketika mem-pidato-kannya dalam penutupan sidang BPUPKI.
Tentu saja kesadaran ini beliau dapatkan setelah mengamati
dan mendengarkan pidato-pidato dan perdebatan-perdebatan
selama beberapa bulan dalam sidang-sidang BPUPKI sebelomnya.
Makanya, setelah beliau mengemukakan ke lima dasar yang
dinamainya Pancasila itu, beliau langsung "memerasnya"
jadi tiga, lalu "memerasnya" lagi jadi satu, yaitu
"gotong-royong". "Pemerasan" Pancasila ini mengundang
banyak kritik, antara laen misalnya dari Mr. Muhammad Roem
yang keberatan kok sila Ketuhanan diperas ke dalam "gotong-
royong" [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 25]. Seandainya......,
yah seandainya, ...... Bung Karno mengusulkan saja "gotong-
royong" sebagai "The Guiding Principle" dari bangsa dan
negara Indonesia yang di-impi-impi-kannya, tanpa harus
memeras-merasnya dari Pancasila segala.......... tentu
sejarah bangsa ini akan laen jadinya.... Kalo' "gotong-
royong" yang menjadi sumber dari segala sumber hukum
di negeri ini, maka tidak akan ada yang namanya kasus
"suap". Kalo' legislatif kasih uang sama eksekutif, atau
kasih amplop sama yudikatif, atau sebaliknya, itu namanya
"gotong-royong", bukan "suap" ........'kan gitu? Kalo'
ada yang mengatakan itu suap, berarti ndak ngerti filosofi
bangsa "gotong royong" !!!

Dari mulai lahirnya saja Pancasila ini sudah kelihatan
potensi-nya sebagai peretak persatuan. Perdebatan-perdebatan
keras di antara 1 Juni sampai 22 Juni 1945 yang dicatat
Mr. Muhammad Yamin [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 15-43]
menunjukkan hal itu, tapi "Allah SWT memberkati kita.....",
kata Bung Karno, karena 9 orang panitia kecil berhasil
menyetujui sebulat-bulatnya rancangan "preambul" pada
tanggal 22 Juni 1945 dan menanda-tanganinya. Naskah
tersebut kemudian dikenal dengan nama "Djakarta Charter",
yang direncanakan akan menjadi semacam "Declaration of
Independence" sekaligus sebagai Mukaddimah dari Konstitusi
negara dan bangsa yang akan dibentuk saat itu .....

Tapi belom dua bulan dari tanggal 22 Juni itu, sudah
mulai ada tanda-tanda keretakan ....... Bung Hatta
mendapat bisikan dari seorang tentara Jepun yang
beliau lupa namanya siapa, bahwa ada segolongan orang
yang (tidak jelas juga identitas-nya siapa yang bicara)
menyatakan tidak akan ikut Republik kalo' tujuh kata
dalam Pancasila versi "Djakarta Charter" tidak
dihilangkan............ sehingga lahirlah Pancasila
dalam wujud versi Pembukaan UUD'45 18 Agustus 1945.
Hilangnya tujuh kata ini pun kelak di kemudian hari
akan menimbulkan keretakan bangsa yang cukup
berdarah-darah juga ..... bahkan pada puncak
"kesaktian"-nya 500ribu sampai 1 juta anak bangsa
dikorbankan untuk Pancasila ini.....

Terlepas dari pengamatan empirik (yang JUJUR saja)
terhadap perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara
selama 66 tahun guided by Pancasila dalam berbagai
versi dan penjelasannya ..... sehingga carut-marut
seperti sekarang ini, sebenarnya kalo' kita mau
sedikit kritis dan menggunakan akal sehat saja,
dalam Pancasila itu terkumpul berbagai macam ideologi,
yang sebetulnya tidak mungkin disatukan. Pancasila
is not AN IDEOLOGY, but a bunch of ideologies.....

Seorang agamis (wa bil khusus Islamis) akan meyakini
bahwa satu-satunya sila yang penting dalam Pancasila
adalah sila pertama, asal ditambah dengan tujuh kata
seperti dalam Djakarta Charter. Kalo' tidak, Ketuhanan
jadi "kosong", diisi batu tuhannya batu, diisi pohon
ya tuhannya pohon, kata K.H. Masykur [ESA, "Piagam
Djakarta", hal. 82]. Maka seorang Islamis meyakini
bahwa kalo' sila pertama saja dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, yang laen akan ikut saja.

Tapi seorang nasionalis tidak akan setuju, baginya
yang paling penting adalah sila ketiga. Kalo' persatuan
dijunjung tinggi, yang laen akan beres dengan
sendirinya, begitu katanya. Seorang demokrat akan
mementingkan sila keempat. Seorang sosialis-komunis
akan memilih jalur via sila kelima dulu. Seorang
humanis-liberalis, tentu menganggap sila kedua
yang paling penting. Jadi bagaimana bisa seorang
warga-negara menjadi "Pancasilais" dalam arti
seorang Islamis, sekaligus humanis, nasionalis,
demokrat dan komunis? Hehehe, cuma bisa kalo' dia
seorang "humoris" yang lucu banget dah.......
Dalam bahasa Psikologi itu namanya "split personality"
alias berkepribadian ganda ............. suatu
penyakit kejiwaan yang bisa berbahaya (ingat
cerita "Hide and Jeckill").

Karena orang normal tidak bisa berkepribadian
ganda, maka setiap orang palingan hanya bisa
ber-ideologi-kan SALAH SATU saja dari kelima
sila Pancasila itu. Dengan demikian akan besar
potensi konflik-nya dengan orang laen yang mengambil
sila yang laen dari Pancasila. Akhirnya sama-sama
mengaku "Pancasilais" tapi berkelahi dengan orang
laen, sesama yang mengaku "Pancasilais" juga.......
bisa jadi bahkan sampai bunuh-bunuhan. Kita tahulah
yang seperti apa itu "Pemuda Pancasila".......
"menyeramkan" 'kan? Itulah kenyataan (REALITA)
yang terjadi sejak Pancasila lahir 66 tahun yang lalu.

Menurut penelitian, palingan cuma maksimum
12 % dari populasi orang yang peduli dengan masalah-
masalah ideologi begini. Sementara itu ada kurang-
lebih 5 % dari populasi yang sebenarnya menguasai
80 % asset dan roda ekonomi bangsa ini, yang dengan
seksama "mengontrol" perilaku (politik) dari ke 12 %
populasi tadi dengan uang-nya, sehingga tidak
membahayakan mereka punya kehidupan. Jadi sebenarnya
yang langsung berkepentingan secara real dengan
"Pancasila" ya palingan hanya 12 + 5 = 17 % saja.
Yang 83 % sisanya ........... paling berfungsi
untuk teriak-teriak "Hidup Pancasila", dan
menyanyikan "Garuda Pancasila" ........supaya
"rame" aja-lah gitu. Bahkan ada yang begitu ndak
pedulinya, sampai-sampai teriak "Selamat Hari
Kesaktian Pancasila", pada hari kelahirannya.
Mana ada yang baru lahir kok langsung sakti, ta'iya?
nDak masuk akal sama sekali ........ Bahkan
pada situasi tertentu bisa juga yang 83 % populasi
ini di-gosok-gosok dan di-adu-adu-in satu sama
laen, disuruh bunuh-bunuhan pun mau, "demi Pancasila"
katanya...... na'udzubillahi min dzaalik !

Olehnya itu, kalo' seandainya Pancasila di-pensiun-kan
nanti pada usia-nya yang ke 70, insya Allah, maka
akan jauh lebih banyak manfaat-nya daripada mudharatnya
karena akan mengurangi potensi keretakan antar komponen
bangsa. Mari kita mulai memikirkan dan mempersiapkan
pengganti Pancasila yang sudah mulai "uzur" dimakan
usia ini ............

Sabtu, 30 April 2011

Wisata Bahari Kota Makassar



Hamparan pulau-pulau karang yang berada disebelah barat jazirah Sulawesi Selatan, membentang selatan-utara, mulai Kabupaten Takalar di Selatan hingga pulau-pulau Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep) di Utara, dikenal sebagai dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf), dengan jumlah pulau ± 120 pulau dan duabelas diantaranya merupakan bagian wilayah Kota Makassar.

Secara umum daya tarik kepulauan Spermonde adalah kondisi pulau yang sebagian besar masih asri, perairan yang jernih, hamparan pasir putih, dan pada sore hari dapat menikmati sunset sepanjang tahun, pemandangan bawah laut (terumbu karang dan berbagai jenis ikan karang), beberapa lokasi kapal tenggelam (wreck), menyaksikan gerombolan burung camar yang berburu ikan, serta kehidupan nelayan tradisional yang dapat dijumpai setiap hari.

Pulau-pulau yang menjadi tujuan utama wisatawan adalah Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Kodingareng Keke, dan Pulau Lanjukang. Telah tersedia fasilitas resort permanen di Pulau Kayangan, sedangkan pada Pulau Kodingareng Keke hanya tersedia Resort Non Permanen, penduduk di Pulau Samalona menyediakan rumahnya sebagai resort, sedangkan pada Pulau Lanjukang sudah memiliki fasilitas resort. Sementara pulau-pulau lainnya menjadi pendukung kegiatan wisata pulau, karena memiliki daya tarik tersendiri yang tidak dijumpai seperti keadaan sosial budaya masyarakat itu sendiri, seperti Apparoro (upacara penurunan kapal di P. Barrang Caddi).

Untuk menjangkau pulau-pulau Spermonde, khususnya yang termasuk dalam wilayah Pemerintahan Kota Makassar, telah tersedia 3 dermaga penyeberangan yang saling berdekatan, yaitu : dermaga Kayu Bangkoa, dermaga wisata Pulau Kayangan dan dermaga milik POPSA (Persatuan Olahraga Perahu motor dan Ski Air) Makassar. Belum semua pulau-pulau kecil di Kota Makassar memiliki angkutan reguler dengan jadwal yang tetap. Pulau-pulau yang memiliki transportasi reguler, adalah P. Barrang Lompo, P. Barrang Caddi, Kodingareng Lompo, P. Lae-Lae dan P. Kayangan.

PULAU LANJUKANG

Pulau Lanjukang, atau disebut juga Pulau Lanyukang, atau Pulau Laccukang, merupakan pulau terluar yang berjarak 40 km dari kota Makassar, termasuk Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Untuk menuju pulau ini dari kota Makassar, belum ada transportasi reguler, namun bagi wisatawan dapat menggunakan perahu carteran (sekoci) dengan mesin 40 PK untuk 10 penumpang dengan biaya sewa Rp. 1.OOO.OOO,- (pulang-pergi)

Bentuk pulau ini memanjang baratdaya - timurlaut, dengan luas mencapai lebih 6 ha, dengan rataan terumbu yang mengelilingi seluas 11 ha. Pada timur merupakan daerah yang terbuka dan terdapat dataran yang menjorok keluar (spit). Sedangkan di sisl barat bagian tengah, terdapat mercusuar. Vegetasi di pulau ini cukup padat, dengan sebaran pohon merata, didominasi oleh pohon pinus dan pohon kelapa serta pohon pisang dibagian tengah pulau.

Sarana umum yang tersedia masih relatif sangat terbatas. Fasilitas pendidikan dan kesehatan belum tersedia. Instalasi listrik dengan 2 buah generator hanya beroperasi antara pukul 17.30 - 21 .00 Wita. Terdapat sebuah sumur air payau di bagian tengah pulau untuk kebutuhan sehari-hari. Kita juga dapat menjumpai 2 buah warung kecil dengan barang dagangan yang sangat terbatas. Selain itu terdapat sebuah mushallah semi permanen. Pemukiman penduduk terkonsentrasi di sisi utara pulau yang relatif lebih aman pada musim timur dan barat.

Pulau ini belum dilengkapi dengan fasilitas dermaga kapal. Disisi bagian barat, pada surut terendah terdapat rataan terumbu karang yang mencapai jarak 1 km dan pada jarak 2 km terdapat daerah yang mempunyai kedalam yang curam hingga lebih 100 m. Wilayah perairan disisi selatan, timur, dan utara pulau ini merupakan alur pelayaran kapal.

Fasilitas resort sudah tersedia berupa 2 buah bangunan rumah batu semi permanen sebagai guest house bagi wisatawan ke pulau ini. Walaupun fasilitas sangat terbatas, bagi mereka yang menyenangi suasana alami, pulau ini ini salah satu tempat yang ideal bagi mereka yang ingin melakukan camping atau sekedar berjemur di pantai pasir putih yang indah dan bersih, atau bagi mereka yang gemar bersnorkling disekitar perairan pulau ini, panorama taman laut dan keanekaragaman biotanya dengan laut yang bersih menjadi daya tarik tersendiri.

Kondisi terumbu karang di sekitar pulau umumnya masih baik dan sangat menarik untuk kegiatan snorkling. Kita dapat menjumpai berbagai jenis spesies karang, karang lunak, ikan karang, dan ikan hias, serta biota lautnya. Umumnya, pulau ini dimanfaatkan oleh wisatawan pemancing sebagai tempat transit, sebelum meneruskan ke perairan Pulau Taka Bakang dan Pulau Marsende (wilayah perairan Kabupaten Pangkajene Kepulauan) untuk kegiatan "sport fishing".



PULAU LANGKAI


Pulau Langkai berjarak 36 km dari kota Makassar, merupakan salah satu dari tiga pulau terluar Makassar dan termasuk Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Posisi pulau ini berada 5,5 km di selatan Lanjukang, dan luas mencapai lebih dari 27 ha., dengan rataan terumbu yang mengelilingi seluas 142 ha.

Sebuah dermaga perahu tendapat di sebelah utara pulau ini. Belum tersedia transportasi rejuler untuk menuju pulau ini, dapat menggunakan perahu carteran (sekoci) dengan biaya sebesar Rp. 750.000.,- (pergi-pulang). Pulau ini cukup padat penduduknya, dengan jumlah mencapai 430 jiwa (127 KK), berasal dari suku Bugis (Maros, Pangkep) sebanyak 80%. dan 20% sisanya dibagi merata dari suku Mandar, suku Makassar (Takalar, Makassar, Gowa). Mata pencaharian utama penduduk Pulau Langkai adalah sebagai nelayan pancing 55%, nelayan dengan menggupakan pukat/jaring 31%, dan sebagai pengrajin perahu 5%, serta sebagian kecil sebagai pedagang/kelontong, guru dan Pegawai Negeri.

Untuk mendukung kebutuhan listrik penduduk pulau ini, tersedia instalasi listrik dengan 2 buah generator yang beroperasi antara pukul 17.30 - 21.00 Wita. Fasilltas sanitasi dan kebersihan di pulau ini agak terbatas, sedangkan fasilitas kesehatan, tersedla puskesmas pembantu (pustu) dengan bangunan permanen terdiri atas 3 ruangan. Pustu ini dllayani oleh seorang mantri yang berasal dari deerah itu juga, Secara periodik dokter Puskesmas Pattingalloang, Ujung Tanah Makassar sebagai induk pustu ini mengunjungi pulau ini. Sarana pendidikan berupa sekolah Dasar sudah permanen, sejumlah siswanya berasal dari pulau-pulau sekitarnya. Fasilitas transportasi reguler ke pulau ini belum tersedla.

Peralran Timur pulau ini merupakan alur pelayaran kapal dari dan ke Dermaga Soekano-Hatta Makassar, dengan kedalaman besar dari 30 m, dibeberapa tempat dijumpai kedalaman kurang dari 10 m. Pada perairan barat, dengan jarak kurang darl 2 km dari dataran terumbu, kita dapat menjumpai perubahan kedalaman yang drastis mencapai lebih dari 200m. Ditempat ini banyak diminati oleh wisataman pemancing untuk menjalankan aktifitasnya.

Kondisi terumbu karang yang masih baik di sekitar pulau sangat terbatas, namun demikian, ikan kerapu dan napoleon masih umum dijumpai di sekitar pulau ini. Kita juga dapat menjumpai ikan Kaneke, udang mutiara, ikan cakalang, tinumbu, bambangang, hiu, lamuru, cepa (kuwe), sunu, kerapu dan ikan terbang. Pulau ini dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata bahari alternatif untuk melihat kehidupan sehari-hari nelayan pancing, termasuk cara pengrajin perahu membangun dan merawat perahunya.



PULAU LUMU-LUMU



Pulau Lumu-lumu berjarak 28 km dari kota Makassar, termasuk Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Posisi pulau ini berada di sebelah timur P. Lanjukang, dan merupakan pulau terdekat dari tiga pulau terluar Makassar. Untuk menuju pulau ini, belum tersedia transportasi reguler, hanya tersedia perahu carteran (sekoci) 40 PK dengan biaya Rp. 600.000,- (pergi-pulang).

Pulau ini berbentuk bulat, memanjang barat laut-tenggara. Sebaran terumbu karang yang mengelilingi pulau ini dengan kedalaman kurang dari 1 m, dan sebagian besar berubah menjadi daratan pada kondisi surut minimum. Perairan sebelah timur dan utara, merupakan alur pelayaran dengan kedalaman besar 30m, sedangkan perairan sebelah selatan sekitar 2 km dari pulau merupakan daerah gosong dengan kedalaman 5 m, kedalaman perairan antara gosong dan perairan sebelah barat P. Lumu-lumu hingga mencapai besar dari 30 m.

Walaupun luas pulau ini hanya 3,75 ha, atau hampir setengah dari luas P. Lanjukang, namun jumlah penduduknya mencapai 984 jiwa atau 30 kali dari P. Lanjukang. Pulau ini merupakan pulau terpadat penduduknya dengan tingkat kepadatan 262 jiwa setiap ha dan tersebar merata di seluruh pulau. Tidak banyak pohon dijumpai di pulau ini. Pohon yang terdapat di pulau ini: pohon kelapa, pohon kayu cina yang menempati sisi utara, barat dan selatan.

Jumlah masyarakat sejahteranya mencapai 90%, dengan mata pencarian utamanya sebagian nelayan, yang hanya menangkap ikan yang memiliki nilai jual tinggi seperti ikan sunu (grouper) dan ikan karang lainnya. Tingkat kesejahteraan masyarakat pulau ini juga tercermin dari peralatan tangkap yang digunakan sudah lebih maju dibanding nelayan tradisional, dengan menggunakan jaring insang (gill net).

Sebuah dermaga kayu terletak pada sisi timur untuk menunjang aktifitas keluar masuknya perahu. Terdapat sebuah masjid permanen, sebuah Sekolah Dasar dan sebuah puskesmas pembantu dengan satu orang suster, pos yandu 1 buah dan dukun beranak sebanyak 2 orang. Banyak dijumpai sumur dengan air payau dan hanya digunakan untuk kebutuhan mencuci dan mandi, sementara rumah penduduk belum banyak dilengkapi dengan jamban. Instalasi listrik dari PLN dengan 2 buah generator yang beroperasi antara pukul 18.00 - 22.00 Wita, dan tersedia fasilitas telekomunikasi.

Biota yang terdapat di pesisir pulau, adalah: padang lamun, rumput laut, kepiting, keong laut, cacing pasir, teripang, sedangkan diperairan sekitar pulau.terdapat beberapa jenis ikan, karang lunak, karang keras, dan padang lamun.

PULAU BONETAMBUNG



Pulau ini berbentuk bulat, dengan luas 5 Ha, atau berjarak 18 km dari Makassar. Posisinya berada di sebelah timur P. Langkai. Perairan sebelah utara dan timur merupakan alur pelayaran pelabuhan, dengan kedalaman lebih dari 40 meter (± 900 meter dari pantai), perairan sebelah barat terdapat rataan terumbu karang, pada bagian luar sekitas 1 km terdapat kedalaman besar dari 20 m, dan pada sebelah baratdaya sekitar 1 km terdapat daerah yang sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 5 meter. Belum tersedia transporatasi reguler ke pulau ini, dapat menggunakan perahu carteran (sekoci) 40 PK dengan biaya sebesar Rp. 600.000,- (pergi-pulang).

Pemukiman penduduk tersebar merata di pulau ini, dengan jumlah 481 jiwa. Vegetasi umum dijumpai adalah pohon kelapa. Beberapa kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat, adalah upacara Lahir bathin yakni mensucikan diri sebelum masuk bulan Ramadhan, Upacara Songkabala yakni upacara untuk menolak bala yang akan datang, dan upacara Pa’rappo yakni upacara ritual yang dilaksanakan oleh para nelayan sebelum turun ke laut, serta upacara karangan yakni upacara ritual yang dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang berlimpah.

Kondisi ekonomi masyarakat relatif baik dimana mata pencaharian utamanya adalah sebagai nelayan (90%) khususnya nelayan ikan kerapu Untuk mendukung sarana transportasi laut dipulau ini, telah dibangun dermaga pada sisi selatan pulau, selain fasilitas dermaga, terdapat 1 buah sekolah dasar (SD) dan 1 buah Puskesamas pembantu dengan tenaga medis 1 orang mantri, 1 orang suster dan 1 orang dukun, sanitasi lingkungan di pulau ini belum tersedia.

Kita juga dapat menjumpai sebuah masjid hasil swadaya masyarakat dan fasilitas olahraga yakni lapangan bola dan volley. Sebuah instalasi lidtrik dengan generator yang beroperasi padad pukul 18.00 – 22.00 wita melengkapi fasilitasv di pulau ini. Kepiting, crustasea, molusca, cacing pasir, kerang-kerangan, bintang laut, bulu babi, beberapa jenis ikan, seperti ; cumi-cumi, baronang, papakulu (ayam-ayam), mairo (teri), katamba, dan banyar merupakan biota yang umumnya dijumpai diperairan pulau ini. Sejumlah terumbu karang telah rusak, namun masih dapat dijumpai panorama bawah laut yang masih asri untuk lokasi snorkling. Disamping itu, upacara ritual masyarakatnya dapat menjadi atraksi wisata budaya bagi wisatawan.

PULAU KODINGARENG LOMPO

SABTU, 15 MEI 2010 07:44

Pulau ini termasuk dalam Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, dan berjarak 15 km dari Makassar. Bentuknya relatif memanjang Utara - Selatan, pada sisi Selatan tedapat dataran yang memanjang menjorok keluar (spit), pulau ini mempunyai luas 14 Ha. Untuk menuju pulau ini dari Makassar, tersedia transportasi regular dengan biaya Rp. 6.000,- per penumpang sekali jalan dengan menggunakan Kapal motor. Tersedia juga perahu motor carteran (sekoci) 40 PK, dengan biaya Rp.400.000,- (pulang-pergi).

Jumlah penduduk di pulau ini t 4170 jiwa, dengan mata pencaharian 90% sebagai nelayan, 9% pa'balong dan sisanya usaha lainnya. Alat tangkap yang dominan adalah pancing dan purse. Konsentrasi penyebaran penduduk merata, dengan jenis bangunan rumah panggung dan rumah batu. Pada sisi timur terdapat 2 buah dermaga yang berdekatan, yaitu : dermaga kayu buat kapal motor (regular) dan Speed Boat.

Fasilitas di pulau ini cukup maju dibandingkan dengan pulau- pulau lainnya. Instalasi listrik dengan generator yang beroperasi selama 12 jam. Terdapat 2 buah Sekolah Dasar, 1 buah taman kanak-kanak, sarana ibadah : 2 buah mesjid dan 2 buah musalla, dengan Fasilitas kesehatan berupa 1 buah posyandu bantu, juga terdapat pos obat desa (POD) melalui program NGO Plan Internasional dan terdapat 1 buah lapangan sepak bola. Perairan sebelah Timur, Utara dan Selatan memiliki kedalaman diatas 20 m pada jarak antara ± 0,2 mil sedangkan perairan disebelah Barat pada jarak ± 4,5 mil dari pantai mempunyai kedalaman 20 m.

Panorama bawah air yang asri masih dapat dijumpai di beberapa spot di wilayah perairan pulau ini. Sejumlah jenis biota yang dapat kita jumpai diperairan ini, adalah : bulubabi, ubur-ubur, kepiting, bintang laut, beberapa jenis ikan, seperti: beseng-beseng giru, leto-leto, cepa, belawas (sejenis baronang)


Pulau Kodingareng Keke

Pulau ini terletak disebelah utara P.Kodingareng Lompo, dan berjarak 14 km dari Makassar. Bentuk pulaunya memanjang timurlaut - baratdlaya, dengan luas ± 1 Ha. Pada sisi selatan pulau, pantainya tersusun oleh pecahan karang yang berukuran pasir hingga kerikilan, sedangkan pada sisi utara tersusun oleh pasir putih yang berukuran sedang-halus dan bentuknya berubah mengikuti musim barat dan timur. Tidak tersedia transportasi reguler menuju pulau ini, namun dapat menngunakan perahu motor carteran (sekoci), 40 PK dengan biaya Rp. 500.000,- (pergi-pulang)

Tidak tercatat adanya penduduk di pulau ini, namun dalam 7 tahun terakhir ini terdapat beberapa bangunan peristirahatan semi permanen bagi wisatawan yang berkunjung ke pulau ini. Bangunan dikelola oleh seorang warga negara Belanda, dan telah menanam kembali beberapa pohon pinus. Pada sisi barat terdapat dataran penghalang yang terbentuk akibat proses sedimentasi yang tersusun atas material pecahan koral. Ada pasang terendah, terdapat dataran yang cukup luas dibagian barat pantai. Perairan sebelah baratlaut merupakan daerah yang cukup luas dengan kedalaman kecil dari 5 meter hingga mencapai 2,5 km dari garis pantai, sedangkan di perairan sebelah timur dan selatan merupakan alur pelayaran masuk dan keluar dari pelabuhan Samudera Makassar.

Tersedia fasilitas resort standar bagi wisatawan, dan perairan di sekitar pulau ini merupakan tempat yang ideal bagi mereka yang menyenangi snorkeling. Kondisi terumbu karangnya umumnya terjaga dengan baik, dengan ikan-ikan karangnya yang cantik membuat panorama bawah lautnya semakin asri. Bagi anda yang tidak menggemari snorkling/diving, dapat anda menikmati hamparan pasir putihnya.


Barang Lompo

Pulau Barrang Lompo termasuk wilayah Kecamatan Ujung Tanah, dan berada di sebelah utara P. Barrang Caddi, dan berjarak 13 km dari Makassar. Pulaunya berbentuk bulat, dengn luas 19 Ha. Vegetasi yang umum tumbuh di pulau ini adalah pohon asam, pohon pisang dan pohon sukun, sedangkan pohon kelapa hanya dijumpai disisi timur dan barat pulau ini.

Konsentrasi pemukiman penduduk berada pada sisi Timur, Selatan, dan Barat dengan jumlah penduduk mencapai 3.563 jiwa dari 800 KK. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan, dilengkapi kurang lebih 50 kapal kayu motor dan sekoci. Kondisi ekonomi masyarakatnya relatif sejahtera.

Fasilitas umum di pulau ini cukup maju dibanding pulau lainnya, tersedia transportasi reguler dari dan ke Makassar dengan kapal motor, biayanya Rp. 6.000,- per orang sekali jalan, sanitasi yang cukup baik, fasilitas pendidikan : 1 buah Taman Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar. Pulau ini dilengkapi juga dengan fasilitas kessehatan berupa 1 buah Puskesmas dan sebuah lagi puskesmas pembantu dengan tenaga medis yang terdiri dari 1 orang dokter, 1 orang perawat, 1 orang mantri, dan 1 orang bidan. Instalasi listrik dengan 2 generator yang berkapasitas 360 KVA yang beroperasi pada pukul 18.00 - 06.00 WITA. Jalan-jalan utama dibuat dari paving blok. Fasilitas air yang baik dan memiliki 2 buah dermaga (tradisional dan semi permanen), dan di pulau ini terdapat "Marine Field Stasiun Universitas Hasanuddin".

Tradisi masyarakat yang masih dijumpai di pulau ini adalah upacara Lahir Bathin yakni mensucikan diri sebelum masuk bulan Ramadhan, upacara Songkabala yakni upacara untuk menolak bala yang akan datang, upacara Pa'rappo yakni upacara ritual yang dilaksanakan oleh para nelayan sebelum turun ke laut, dan upacara Karangan yakni upacara ritual yang dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang berlimpah.

Selain makam-makam tua dari abad ke XIX yang terdapat di pulau ini sebagai obyek wisata budaya yang menarik dikunjungi, juga kios tempat pembuatan cindera mata dari kerang laut, berada tepat didepan dermaga utama. Pada beberapa spot di perairan pulau ini, kehidupan karang dan ikan karang umumnya masih baik, walaupun ada sebagian karangnya sudah ikut hancur akibat eksploitasi yang tidak ramah lingkungan.


Pulau Barang Caddi

Pulau ini terletak di sebelah timur P. Barranglompo, berbentuk memanjang timurlaut – baratdaya, dengan luas 4 ha. Berjarak 11 km dari Makassar dan termasuk pulau yang padat penduduknya, dengan jumlah 1263 jiwa. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan tradisional, hal ini tercermin dari peralatan tangkap yang mereka gunakan masih sederhana, seperti bubu, pancing, rengge, dan lepa-lepa.

Fasilitas umum yang tersedia berupa instalasi listrik, penyaringan air laut menjadi air tawar (bantuan jepang) dan sebuah dermaga di sisi barat pulau ini. Untuk kesehatan, dapat dijumpai 1 Puskesmas Pembantu dan 1 Posyandu dengan seorang tenaga kesehatan dan seeorang dukun terlatih, sedangkan untuk pendidikan, terdapat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Tersedia sarana transportasi reguler dari Makassar dengan biaya Rp. 6.000 per orang sekali jalan. Kedalaman perairan disekitar pulau ini umumnya besar dari 25 meter, sehingga menjadi bagian dari alur pelayaran masuk-keluar Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar.

Konsep zonasi sudah diterpkan pada pemanfaatan ruang laut di perairan pulau ini. Seperti pada perairan sisi baratnya, merupakan daerah perlindungan yang dibagi atas beberapa zona, antara lain zona yang paling dekat dengan pulau disebut zona inti dan yang kearah laut lepas merupakan zona penyangga yang dicanangkan sekitar bulan Desember 2003 lalu. Kegiatan ini juga, merupakan usaha perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang disekitar pulau Barrang Caddi yang diinisiatif oleh forum kemitraan bahari Sulaweai Selatan.

Obyek wisata budaya yang menarik di pulau ini adalah mengunjungi tempat pembuatan perahu tradisional pada sisi barat pulau ini, ataukah hanya sekedar melihat kehidupan sehari-hari masyarakat P. Barrang Caddi. Kalau kita beruntung, maka kita dapat menjumpai upacara penurunan kapal (apparoro), atau upacara pembuatan rumah atau kegiatan mesyarakat duduk bersama untuk membicarakan suatu hal.

Pada beberapa spot, kehidupan kondisi terumbu karangnya dijumpai dalam kondisi baik, beberapa spesies karang dan ikan perairan bagian barat. Tempat ini juga menarik bagi mereka yang hanya sekedar untuk melakukan snorking, walaupun sebagian karangnya ikut hancur akibat eksploitasi yang tidak ramah lingkungan.


Pulau Samalona

Pulau Samalona, secara administratif termasuk Kecamatan Mariso, berjarak 7 km dari kota Makassar, selain terkenal dengan pantai pasir putihnya juga memiliki tempat pemancingan. Pulau ini relatif berbentuk bulat, luas lebih 2 ha, dengan jumlah penduduk mencapai 82 jiwa. Belum tersedia transportasi reguler ke pulau ini, namun demikian para wisatawan dapat menyewa kapal motor 40 PK dengan jumlah penumpang 10 orang, sebesar Rp. 300.000,- (pergi-pulang).

Konsentrasi penduduk merata di tengah pulau, dengan bangunan rumah panggung. Pulau ini cukup rindang dengan sejumlah pohon besar yang terdapat di pulau ini, seperti pohon cina, tammate, dan pohon kelapa sedangkan pada sisi baratlaut terdapat hamparan pasir putih yang cukup luas, oleh pengunjung dimanfaatkan sebagai tempat bermain pantai. Di pulau ini, dapat dijumpai juga sebuah kompleks makam tua yang dikeramatkan oleh masyarakat Samalona, letaknya di sisi Utara pulau.

Kondisi ekonoml masyarakat setempat bergantung dari sektor pariwisata yang berkunjung ke Pulau Samalona. Fasilitas Yang tersedia di Pulau ini berupa instalasi listrik dari PLN dengan 4 buah mesin Pembangkit listrik yang beroperasi antara pukul 18.00-22.00 Wita, dan bila hari libur hingga pukul 24.00 Wita. Di pulau ini terdapat pula satu buah mushallah yang merupakan bantuan dari wisatawan lokal. Terdapat sebuah sumur dengan kondisi air yang payau di bagian tengah pulau, beberapa rumah panggung milik penduduk yang disewakan, dilengkapi dengan MCK.

Perairan di sekitar pulau mencapai kedalaman diatas 10 m, pada sisi Barat Laut terdapat mercusuar, gosong terdekat berada pada perairan sisi Tenggara yaitu Taka Bako (± 2 km). Bagi mereka yang menyenangi kegiatan berenang, pantai Samalona merupakan salah tempat ideal, namun sejumlah spot snorkling dapat dijumpai di perairan bagian barat P. Samalona. Pulau ini, sehingga pulau ini menjadi salah satu tempat yang paling digemari oleh masyarakat kota Makassar untuk sekadar menikmati putih atau berenang.


Pulau lae lae

Pulau ini berhadapan langsung dengan pantai Losari, berjarak 2 km depan pantai Makassar, dengan luas 11 ha. Secara administrasi, Pulau Lae-Lae termasuk Kecamatan Biringkanaya. Pulau ini berbentuk persegi empat dan terdapat bangunan penghalang gelombang yang memanjang relative Utara – Selatan pada sisi barat pulau. Konsentrasi penduduk merata, dengan jenis bangunan rumah panggung dan rumah batu. Dibangun tanggul mengelilingi pulau, menyerupai bentuk segiempat, dan pada sisi selatan terdapat bangunan pemecah gelombang yang memanjang relative utara-selatan. Pada perang Dunia II, pulau ini difortifikasi oleh tentara Jepang sebagai pertahanan udara dan laut.

Masyarakat mulai mendiami pulau Lae-lae pada tahun 1950-an. Penduduknya telah mencapai lebih 1500 jiwa, umumnya sebagai pelaut dan nelayan. Sejak ikan jenis kerapu menjadi komoditi ekspor yang bernilai tinggi, semakin banyak nelayan Lae-lae mengusahakan penangkaran kerapu untuk ekspor. Tersedia fasilitas transportasi reguer yang menghubungkan pulau ini dengan kota Makassar, dengan biaya Rp. 5.000 per orang sekali jalan.

Fasilitas umum yang dapat kita jumpai di pulau ini, sudah cukup memadai, seperti sebuah instalasi listrik dengan 2 buah generator yang beroperasi antara pukul 17.30-21.00 Wita, sebuah dermaga kayu, mesjid permanen, Sekolah dasar, Puskesmas dan Posyandu serta saluran sanitasi untuk sebagian pemukiman penduduk. Kebutuhan akan air bersih, masih disuplai dari kota Makassar, sedangkan untuk kebutuhan sehari mereka masih menggunakan air dari beberapa sumur di pulau ini.

Perairan sekitar Pulau Lae-Lae relatif dangkal, atau mempunyai kedalaman kurang dari 7.5 meter, kecuali pada bangunan Pemecah gelombang di sisi Timur Laut dengan kedalaman perairan hingga mencapai lebih 9 meter. Bagi mereka yang menyenangi untuk sekedar berjemur dan memancing untuk hiburan, Pulau ini sebagai salah satu tempat ideal untuk dikunjungi. Walaupun di pulau ini tidak tersedia resort, tetapi beberapa rumah penduduk menawarkan untuk dijadikan guest house.

Pulau lae - lae Kecil

Pulau ini dikenal dengan nama P. Gusung oleh masyarakat Makassar. Berjarak kurang dari 1,6 km dari kota Makassar, dengan luas 2 ha dan berbentuk memanjang utara-selatan. Posisi pulau ini berada diantara Pulau Lae-lae dan Pulau Kayangan. Sebelumnya pulau ini hanya merupakan sand barrier (pulau gosong) dan dibangun oleh Pengelola Pelabuhan Makassar sebagai pemecah gelombang, sekaligus melindungi kawasan Pelabuhan selama musim Barat (Desember-Maret).

Pulau ini todak berpenghuni, dan tidak ada dijumpai pohon besar, kecuali rumput laut dan jenis tanaman perdu pantai lainnya. Pulau ini sekarang, telah berkembang menjadi salah datu tujuan lokasi wisata bahari bagi penduduk Makassar, seperti wisata pemancingan, atau tempat berenang atau sekedar tempat bersantai. Tersedia fasilitas ttransportasi reguler dengan biaya Rp. 7.500 per orang sekali jalan.

Pulau Kayangan

Pulau Kayangan merupakan pulau koral yang paling dekat dengan Makassar, berbentuk bulat, berpasir putih, tidak berpenghuni, dengan luas mencapai 2 ha, termasuk dalam wilayah Kelurahan Bulo Gading Kecamatan Ujung Pandang. Berjarak 800 m dari Pelabuhan Soekarno Hatta, dan waktu tempuh ±15 menit dari dermaga Kayangan, dilengkapi dengan pelabuhan penyeberangan yang khusus diperuntukan bagi wisatawan yang akan berlibur di pulau ini, dengan biaya transportasi Rp. 20.000 perorang pulang. Perahu penyeberangan tersedia setiap 20 menit ke pulau dan membawanya kembali ke Makassar. Pulau ini dibuka hingga pukul 24.00 Wita.

Dulunya, pulau ini bernama Marrouw atau Meraux, dan dikelola sebagai resort dan tempat wisata bahari favorite sejak tahun 1964, Pulau ini juga mempunyai sistem keamanan 24 jam, didukung dengan fasilitas air tawar yang khusus didatangkan dari Kota Makassar. Pada tahun 2003 sempat ditutup, namun berselang beberapa bulan dibuka kembali. Saat ini, pulau kayangan telah direnovasi kembali dan dilengkapi sejumlah fasilitas tambahan agar memenuhi standar internasional.

Bagi masyarakat kota Makassar, pulau Kayangan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kota ini. Tersedia berbagai fasilitas di pulau ini, seperti tempat penginapan, pondokan, panggung hiburan, restoran, gedung serba guna, ruang pertemuan, tempat bermain bagi anak-anak, sarana olah raga, dan anjungan memancing serta kolam renang. Tempat ini merupakan salah satu alternatif utama bagi wisatawan yang ingin menikmati wisata bahari di Kota Makassar.

Desa Wisata Lakkang Kini Menjangkau Dunia


Makassar, Sungai Tallo yang tenang dan cokelat membuat kami tak was-was menelusuri perjalanan ke Desa Lakkang dari Dermaga Universitas Hasanuddin akhir pekan kemarin. Tak ada kekhawatiran tersirat di antara rombongan kami yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sementara, Pak Tua mendekati saya, "sebenarnya banyak buaya di sungai ini," ia berbisik tanpa senyum.

Perjalanan menggunakan katinting (ucapan warga untuk perahu yang kami naiki) dari Dermaga Unhas ke Desa Lakkang hanya memakan waktu sekitar 10-15 menit. Di kiri kanan tepian sungai menghampar pohon Nipah kehijauan.

Satu-dua batang nipah sempat mengganggu putaran mesin tempel katinting dan pemilik katinting pun terpaksa mematikan mesin untuk membersihkan putaran baling-baling mesin. Menurut Pak Tua yang membisiki saya, buah nipah yang manis dan konon menjadi obat kuat kaum Adam telah lama menjadi konsumsi warga di sekitar Sungai Tallo.

Selain melalui Dermaga Universitas Hasanuddin, warga Desa Lakkang juga dapat keluar menuju Dermaga Tekkolo yang terhubung ke laut lepas. Dermaga ini, kata Andi M. Fara , Lurah Lakkang, berada di depan Benteng Rotterdam di pusat kota.

Desa Lakkang memang desa yang terisolir, dan menurut Hanz Matone - pemerhati pariwisata Sulawesi Selatan dan anggota Lingkar Penulis Pariwisata - inilah yang menjadi keunikan lokasi ini dan ia menentang ide untuk membangun jembatan penghubung ke lokasi yang menjadi paru-paru Kota Makassar itu. Keberadaan jembatan tersebut dinilai akan menghapus keunikan lokasi ini dan menjadi ancaman terhadap statusnya sebagai daerah konservasi alam dan budaya.

Desa Lakkang, kata Hanz, adalah hasil sebuah sedimentasi dan berada di tengah Kota Makassar. Desa ini memiliki berbagai potensi dan bisa dijual menjadi obyek wisata unggulan. Potensi yang dimiliki Desa Lakkang adalah potensi alam seperti pohon-pohon berusia ratusan tahun, empang, daerah pertanian di tengah kota, dan kawasan nelayan.

Desa ini juga berdekatan dengan kawasan industri Makassar sehingga dengan kealamiahannya diharapkan dapat menjadi paru-paru kota. Dengan potensi yang dimilikinya, kata Hanz, ada tiga konsep yang dapat dikembangkan untuk Desa Lakkang, yaitu sebagai konservasi, sebagai edukasi, dan tujuan rekreasi.

Lurah Lakkang Andi M. Fara mengakui daerahnya kini telah menjadi lokasi tujuan wisatawan mancanegara, khususnya Jepang. Para wisatawan Jepang tersebut menikmati buah-buahan unik di daerah ini serta tujuh titik bungker peninggalan Jepang.

Bungker-bungker pas ukuran orang dewasa itu dulunya merupakan tempat pelarian dan tempat penimbunan logistik Jepang. Akibat tertimbun, bungker yang pintunya pas seukuran orang dewasa itu terlihat seperti lubang-lubang kecil saja.

Desa Lakkang seluas 168 hektare. Andi mengatakan tempat ini telah dialiri listrik dan mendapat pasokan air dari PDAM. Desa ini ditinggali sekitar 300 keluarga atau sekitar 1.100 orang dan warganya berprofesi nelayan serta sebagian karyawan di Makassar. Untuk sampai ke desa ini memang satu-satunya melalui jalur air menggunakan perahu-perahu kecil.

Potensi yang dimiliki oleh Desa Lakkang rupanya menarik pihak swasta untuk ikut serta membangun lokasi terisolir ini. Vice President XL North Region Nuruddin Al Fitroh akhir pekan lalu (12/2) mengatakan pihaknya mendukung sepenuhnya program Desa Wisata Lakkang yang ditetapkan Pemerintah Kota Makassar.

Untuk mendukung penetapan Lakkang sebagai desa wisata itu, XL dalam program Coorporate Social Responsibility-nya membantu berbagai sarana infrastruktur di bidangnya, yaitu di bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

Dukungan XL meliputi empat bidang, yaitu pendidikan dengan donasi komputer dan internet ke warga desa, SD Negeri Lakkang dan kantor kelurahan, restorasi dan pemeliharaan situs bersejarah, pendidikan lingkungan dan pengembangan usaha kecil menengah. Selain itu XL menyerahkan satu katinting berkapasitas 15 penumpang serta satu unit telepon umum gratis.

Dengan infrastruktur tersebut Lakkang diharapkan akan diketahui oleh dunia. "Kami juga akan membantu melakukan pelatihan kepada yang berwenang untuk dapat meng-upload informasi tentang Lakkang ke Internet sehingga dapat diketahui oleh masyarakat dan dunia," ujar Nuruddin.

"Kami berharap dukungan dan dorongan dari XL ini akan mampu mewujudkan Lakkang Berprestasi yang sekaligus akan memberikan kontribusi pada kemajuan dunia pariwisata Makassar," tambah Nuruddin.

Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Makassar Rusmayani Madjid menyambut langkah XL dalam pengembangan Desa Wisata Lakkang. "XL yang pertama kali menjalin kerja sama dengan Pemkot Makassar," ujarnya. Langkah itu terutama untuk mendukung program Visit Makassar 2011.

Hasan Kiong, 43 tahun, warga dan pemilik guest house yang difasilitasi XL, menyambut langkah penetapan desanya sebagai desa wisata serta dukungan fasilitas XL untuk guest house-nya. "Sekarang ini Lakkang sudah mulai dilirik wisatawan asing, seperti Jepang," ujar pria yang berprofesi sebagai nelayan itu. (erwin prima pz - tempo)

Flash Streaming Kota Makassar