Jumat, 10 Juni 2011

: BUDAYA , KEBUDAYAAN , SUKU BUGIS


Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.

Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

ABOUT UJUNG PANDANG , PENINGGALAN SEJARAH , SEJARAH MAKASSAR



Menyambut usia ke-405 tahun (09 Nopember 2011), Kota Makassar masih terbilang muda jika dibandingkan sejarah nama Makassar yang jauh menembus masa lampau. Tapi tahukah Anda muasal dan nilai luhur makna nama Makassar itu?

Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.

Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.

Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.

Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dati kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak". Morfem ikat "mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).
Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".

Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.

Rabu, 01 Juni 2011

APAKAH MAKNA SESUNGGUHNYA


Salam dari Makassar !

(.......... mumpung masih tanggal 1 Juni ..........)
Presiden ke-5 Ibu Megawati Sukarnoputri mengatakan dalam
pidato-nya tadi siang bahwa Pancasila adalah "perekat
bangsa" ............. maksudnya tentu Pancasila diharapkan
bisa berfungsi sebagai "lem" yang menempelkan satu komponen
bangsa dengan komponen bangsa laen. Ini tentu salah satu
dari sekian banyak impian Bung Karno, yaitu bapaknya
Ibu Mega. Saya pernah membaca bahwa Bung Karno punya
banyak sebutan (misalnya "Pemimpin Besar Revolusi"),
dan salah satu sebutan beliau adalah "Sang Pemimpi Agung".
"Pemimpi", ndak pake' huruf "n". Tentu Bung Karno disebut
demikian, karena banyak mimpi-mimpi-nya tentang bangsa
dan negara yang digagasnya. Mimpi-mimpi-nya memang semua
indah-indah dan mulia, ........ tapi beberapa di antaranya
malah menjelma menjadi "nightmares" (= mimpi buruk) bagi
bangsa ini. Salah satu mimpi beliau yang kemudian menjadi
suatu "nightmare"........ adalah Pancasila. Alih-alih
menjadi "perekat", Pancasila malah pada kenyataannya jadi
"peretak" dalam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa
dan bernegara selama 66 tahun ini ....

Potensi Pancasila sebagai "peretak" sudah disadari Bung
Karno ketika mem-pidato-kannya dalam penutupan sidang BPUPKI.
Tentu saja kesadaran ini beliau dapatkan setelah mengamati
dan mendengarkan pidato-pidato dan perdebatan-perdebatan
selama beberapa bulan dalam sidang-sidang BPUPKI sebelomnya.
Makanya, setelah beliau mengemukakan ke lima dasar yang
dinamainya Pancasila itu, beliau langsung "memerasnya"
jadi tiga, lalu "memerasnya" lagi jadi satu, yaitu
"gotong-royong". "Pemerasan" Pancasila ini mengundang
banyak kritik, antara laen misalnya dari Mr. Muhammad Roem
yang keberatan kok sila Ketuhanan diperas ke dalam "gotong-
royong" [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 25]. Seandainya......,
yah seandainya, ...... Bung Karno mengusulkan saja "gotong-
royong" sebagai "The Guiding Principle" dari bangsa dan
negara Indonesia yang di-impi-impi-kannya, tanpa harus
memeras-merasnya dari Pancasila segala.......... tentu
sejarah bangsa ini akan laen jadinya.... Kalo' "gotong-
royong" yang menjadi sumber dari segala sumber hukum
di negeri ini, maka tidak akan ada yang namanya kasus
"suap". Kalo' legislatif kasih uang sama eksekutif, atau
kasih amplop sama yudikatif, atau sebaliknya, itu namanya
"gotong-royong", bukan "suap" ........'kan gitu? Kalo'
ada yang mengatakan itu suap, berarti ndak ngerti filosofi
bangsa "gotong royong" !!!

Dari mulai lahirnya saja Pancasila ini sudah kelihatan
potensi-nya sebagai peretak persatuan. Perdebatan-perdebatan
keras di antara 1 Juni sampai 22 Juni 1945 yang dicatat
Mr. Muhammad Yamin [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 15-43]
menunjukkan hal itu, tapi "Allah SWT memberkati kita.....",
kata Bung Karno, karena 9 orang panitia kecil berhasil
menyetujui sebulat-bulatnya rancangan "preambul" pada
tanggal 22 Juni 1945 dan menanda-tanganinya. Naskah
tersebut kemudian dikenal dengan nama "Djakarta Charter",
yang direncanakan akan menjadi semacam "Declaration of
Independence" sekaligus sebagai Mukaddimah dari Konstitusi
negara dan bangsa yang akan dibentuk saat itu .....

Tapi belom dua bulan dari tanggal 22 Juni itu, sudah
mulai ada tanda-tanda keretakan ....... Bung Hatta
mendapat bisikan dari seorang tentara Jepun yang
beliau lupa namanya siapa, bahwa ada segolongan orang
yang (tidak jelas juga identitas-nya siapa yang bicara)
menyatakan tidak akan ikut Republik kalo' tujuh kata
dalam Pancasila versi "Djakarta Charter" tidak
dihilangkan............ sehingga lahirlah Pancasila
dalam wujud versi Pembukaan UUD'45 18 Agustus 1945.
Hilangnya tujuh kata ini pun kelak di kemudian hari
akan menimbulkan keretakan bangsa yang cukup
berdarah-darah juga ..... bahkan pada puncak
"kesaktian"-nya 500ribu sampai 1 juta anak bangsa
dikorbankan untuk Pancasila ini.....

Terlepas dari pengamatan empirik (yang JUJUR saja)
terhadap perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara
selama 66 tahun guided by Pancasila dalam berbagai
versi dan penjelasannya ..... sehingga carut-marut
seperti sekarang ini, sebenarnya kalo' kita mau
sedikit kritis dan menggunakan akal sehat saja,
dalam Pancasila itu terkumpul berbagai macam ideologi,
yang sebetulnya tidak mungkin disatukan. Pancasila
is not AN IDEOLOGY, but a bunch of ideologies.....

Seorang agamis (wa bil khusus Islamis) akan meyakini
bahwa satu-satunya sila yang penting dalam Pancasila
adalah sila pertama, asal ditambah dengan tujuh kata
seperti dalam Djakarta Charter. Kalo' tidak, Ketuhanan
jadi "kosong", diisi batu tuhannya batu, diisi pohon
ya tuhannya pohon, kata K.H. Masykur [ESA, "Piagam
Djakarta", hal. 82]. Maka seorang Islamis meyakini
bahwa kalo' sila pertama saja dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, yang laen akan ikut saja.

Tapi seorang nasionalis tidak akan setuju, baginya
yang paling penting adalah sila ketiga. Kalo' persatuan
dijunjung tinggi, yang laen akan beres dengan
sendirinya, begitu katanya. Seorang demokrat akan
mementingkan sila keempat. Seorang sosialis-komunis
akan memilih jalur via sila kelima dulu. Seorang
humanis-liberalis, tentu menganggap sila kedua
yang paling penting. Jadi bagaimana bisa seorang
warga-negara menjadi "Pancasilais" dalam arti
seorang Islamis, sekaligus humanis, nasionalis,
demokrat dan komunis? Hehehe, cuma bisa kalo' dia
seorang "humoris" yang lucu banget dah.......
Dalam bahasa Psikologi itu namanya "split personality"
alias berkepribadian ganda ............. suatu
penyakit kejiwaan yang bisa berbahaya (ingat
cerita "Hide and Jeckill").

Karena orang normal tidak bisa berkepribadian
ganda, maka setiap orang palingan hanya bisa
ber-ideologi-kan SALAH SATU saja dari kelima
sila Pancasila itu. Dengan demikian akan besar
potensi konflik-nya dengan orang laen yang mengambil
sila yang laen dari Pancasila. Akhirnya sama-sama
mengaku "Pancasilais" tapi berkelahi dengan orang
laen, sesama yang mengaku "Pancasilais" juga.......
bisa jadi bahkan sampai bunuh-bunuhan. Kita tahulah
yang seperti apa itu "Pemuda Pancasila".......
"menyeramkan" 'kan? Itulah kenyataan (REALITA)
yang terjadi sejak Pancasila lahir 66 tahun yang lalu.

Menurut penelitian, palingan cuma maksimum
12 % dari populasi orang yang peduli dengan masalah-
masalah ideologi begini. Sementara itu ada kurang-
lebih 5 % dari populasi yang sebenarnya menguasai
80 % asset dan roda ekonomi bangsa ini, yang dengan
seksama "mengontrol" perilaku (politik) dari ke 12 %
populasi tadi dengan uang-nya, sehingga tidak
membahayakan mereka punya kehidupan. Jadi sebenarnya
yang langsung berkepentingan secara real dengan
"Pancasila" ya palingan hanya 12 + 5 = 17 % saja.
Yang 83 % sisanya ........... paling berfungsi
untuk teriak-teriak "Hidup Pancasila", dan
menyanyikan "Garuda Pancasila" ........supaya
"rame" aja-lah gitu. Bahkan ada yang begitu ndak
pedulinya, sampai-sampai teriak "Selamat Hari
Kesaktian Pancasila", pada hari kelahirannya.
Mana ada yang baru lahir kok langsung sakti, ta'iya?
nDak masuk akal sama sekali ........ Bahkan
pada situasi tertentu bisa juga yang 83 % populasi
ini di-gosok-gosok dan di-adu-adu-in satu sama
laen, disuruh bunuh-bunuhan pun mau, "demi Pancasila"
katanya...... na'udzubillahi min dzaalik !

Olehnya itu, kalo' seandainya Pancasila di-pensiun-kan
nanti pada usia-nya yang ke 70, insya Allah, maka
akan jauh lebih banyak manfaat-nya daripada mudharatnya
karena akan mengurangi potensi keretakan antar komponen
bangsa. Mari kita mulai memikirkan dan mempersiapkan
pengganti Pancasila yang sudah mulai "uzur" dimakan
usia ini ............